Kebocoran data rumah sakit menjadi isu yang semakin menakutkan. Tidak hanya mengancam privasi pasien, namun juga menggerus kepercayaan masyarakat terhadap institusi layanan kesehatan. Dengan meningkatnya serangan siber yang menargetkan rumah sakit, sistem yang selama ini dianggap aman ternyata penuh celah. Ancaman ini tak mengenal waktu dan bisa menimpa rumah sakit mana saja—besar atau kecil, kota maupun daerah.
Dalam setiap insiden kebocoran data, muncul satu pertanyaan besar: siapa yang bertanggung jawab? Apakah manajemen rumah sakit? Atau penyedia sistem teknologi informasi?
Menurut Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), rumah sakit sebagai pengendali data wajib menjaga keamanan informasi pasien. Namun dalam praktiknya, tanggung jawab ini sering kali terabaikan atau dipindahkan ke vendor eksternal yang tidak selalu mematuhi standar keamanan tinggi. Dalam laporan yang dirilis oleh Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), disebutkan bahwa lebih dari 60% rumah sakit di Indonesia mengalami insiden kebocoran data dalam lima tahun terakhir.
Ketika data bocor, dampaknya bukan hanya finansial, tetapi juga reputasional. Selain itu, pasien dapat menjadi korban penipuan, penyalahgunaan data medis, bahkan diskriminasi. Sayangnya, masih banyak rumah sakit yang menganggap keamanan data sebagai hal sekunder dibanding pengadaan alat medis.
Mengapa rumah sakit menjadi sasaran empuk bagi peretas? Jawabannya kompleks, namun akar masalahnya bisa diringkas menjadi tiga: kelemahan sistem, kelalaian manusia, dan kurangnya investasi keamanan.
Banyak sistem informasi rumah sakit di Indonesia yang masih menggunakan perangkat lunak lama dan tidak mendapatkan pembaruan keamanan secara berkala. Sistem yang sudah usang ini menjadi celah yang sangat mudah dimanfaatkan. Selain itu, banyak staf rumah sakit yang tidak terlatih menghadapi ancaman siber, sehingga sering kali menjadi target empuk teknik rekayasa sosial seperti phishing.
Laporan Trend Micro tahun 2024 menyebutkan bahwa sektor kesehatan berada di urutan ketiga sebagai target serangan siber terbanyak secara global, setelah keuangan dan pemerintahan. Di Asia Tenggara, serangan terhadap rumah sakit meningkat 80% dalam dua tahun terakhir. Tanpa adanya investasi signifikan terhadap jasa keamanan rumah sakit, situasi ini hanya akan memburuk.
Salah satu kesalahan fatal adalah tidak menggunakan jasa security rumah sakit yang profesional dan andal. Banyak rumah sakit bergantung pada tim IT internal tanpa pelatihan keamanan siber yang memadai. Hal ini membuat mereka tak siap menghadapi serangan ransomware, pencurian data, hingga sabotase digital.
Beberapa pelanggaran data di sektor kesehatan menunjukkan pola yang sama: serangan berawal dari kelalaian kecil yang berkembang menjadi bencana besar. Misalnya, file medis pasien yang diunggah ke cloud tanpa enkripsi, atau perangkat USB yang digunakan di banyak komputer tanpa proteksi.
Menurut riset dari Ponemon Institute, rata-rata biaya pelanggaran data di sektor kesehatan mencapai USD 10 juta per insiden—angka tertinggi dibanding sektor lain. Di Indonesia, meskipun nominal kerugian sering tak terpublikasi, dampaknya terlihat dari meningkatnya keluhan masyarakat terkait pencurian identitas dan pemalsuan dokumen medis.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah potensi manipulasi data medis. Bayangkan jika data pasien diubah, baik sengaja maupun tidak. Ini bisa menyebabkan kesalahan diagnosis, pemberian obat yang salah, hingga kegagalan penanganan medis. Bagi pasien, ini adalah risiko nyawa. Oleh karena itu, rumah sakit harus mulai membangun sistem yang dapat menjamin integritas data, bukan sekadar menyimpannya.
Salah satu pertanyaan yang jarang dibahas adalah: berapa lama rumah sakit menyimpan data pasien? Menurut peraturan Menteri Kesehatan, data rekam medis wajib disimpan minimal selama 5 tahun sejak kunjungan terakhir pasien. Namun kenyataannya, banyak rumah sakit menyimpan data tersebut jauh lebih lama karena alasan administratif dan medis.
Penyimpanan jangka panjang ini memperbesar risiko kebocoran jika tidak diiringi dengan sistem proteksi yang memadai. Selain itu, data yang sudah tidak aktif sering kali luput dari pemantauan dan tidak mendapatkan enkripsi atau perlindungan yang sama dengan data aktif. Di sinilah peran jasa keamanan rumah sakit menjadi sangat krusial. Data lama bukan berarti data tak berharga bagi peretas. Justru data historis ini sering digunakan untuk membangun profil pasien secara lengkap.
Untuk mengurangi risiko ini, rumah sakit harus menerapkan kebijakan retensi data yang jelas, termasuk kapan dan bagaimana data harus dimusnahkan secara aman. Hal ini juga harus disertai audit berkala oleh pihak ketiga yang kompeten.
Semua bukti dan data di atas menunjukkan bahwa kebocoran data rumah sakit bukan hanya masalah teknis, melainkan masalah etika dan tanggung jawab publik. Saat rumah sakit menunda pengamanan sistem informasi, mereka sebenarnya mempertaruhkan nyawa pasien, staf, dan kredibilitas institusinya sendiri.
Pemerintah memang memiliki tanggung jawab regulasi, namun inisiatif utama tetap harus datang dari internal rumah sakit. Peningkatan kapasitas SDM, pembaruan sistem, serta kemitraan dengan jasa security rumah sakit yang profesional seperti City Guard, bukan lagi pilihan—melainkan keharusan.
Jangan menunggu hingga data pasien Anda dijual di pasar gelap. Jangan menunda sampai kepercayaan masyarakat hancur. Saatnya rumah sakit mengambil tindakan nyata dan segera. Pertimbangkan untuk bekerja sama dengan penyedia jasa keamanan rumah sakit yang sudah terbukti, memiliki reputasi, dan memahami betul lanskap ancaman digital di sektor kesehatan. Keamanan digital hari ini adalah penyelamatan nyawa esok hari.
Your email address will not be published. Required fields are marked (*)